(0362) 21789
dinkes@bulelengkab.go.id
Dinas Kesehatan

Studi: Pencemaran Udara Dapat Pengaruhi Tubuh, Otak dan Perilaku Kita Hingga Mungkinkan Tindak Kriminal

Admin dinkes | 17 September 2019 | 2436 kali

Di masa depan, polisi dan unit pencegahan tindak pidana kejahatan dan pelanggaran mungkin akan mulai memantau tingkat polusi udara di kota-kota mereka, dan mengerahkan pasukan ke kawasan dengan tingkat polusi paling parah kapan saja dibutuhkan.

Mungkin terdengar seperti jalan cerita sebuah film-fiksi ilmiah, tetapi temuan baru menunjukkan bahwa hal itu mungkin saja bisa bermanfaat untuk berjaga-jaga mencegah tindak kriminal terjadi.

Mengapa? Pada penelitian-penelitian yang tengah dilakukan, polusi udara berkait dengan terganggunya kemampuan seseorang untuk membuat keputusan, masalah kesehatan jiwa, prestasi yang lebih buruk di sekolah, dan yang paling mengkhawatirkan: peningkatan tindak kejahatan.'

Temuan-temuan tersebut menjadi semakin mengkhawatirkan, karena lebih dari setengah populasi dunia kini tinggal di lingkungan perkotaan - dan lebih banyak dari kita yang sekarang kerap bepergian di kawasan padat ketimbang zaman dahulu kala.

Yang mengejutkan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan bahwa sembilan dari sepuluh orang secara rutin menghirup udara dengan tingkat polusi yang berbahaya.

Polusi udara membunuh sekitar tujuh juta orang setiap tahunnya. Tetapi apakah dalam waktu dekat ini kita akan melihat grafik yang sama untuk kasus pembunuhan/kejahatan?

Pada tahun 2011 -Sefi Roth, seorang peneliti di London School of Economics, merenungkan berbagai dampak polusi udara. Ia sadar betul dampak negatifnya terhadap kesehatan, meningkatnya pengobatan di rumah sakit, dan juga angka kematian. Mungkin saja , pikirnya Roth, ada dampak buruk lain dari polusi udara terhadap kehidupan kita.

Lalu Roth melakukan penelitian dengan mengamati apakah polusi udara berpengaruh pada kinerja kognitif manusia.

Roth dan timnya mengamati para siswa yang mengikuti ujian di hari yang berbeda-beda - dan juga mengukur berapa banyak pencemaran udara pada masing-masing hari itu. Seluruh variabelnya tetap sama: Ujian diikuti siswa dari tingkat pendidikan yang sama, di tempat yang sama, selama beberapa hari.

Ia menemukan bahwa variasi hasil rata-rata ujian mereka sangatlah berbeda. Hari-hari dengan tingkat pencemaran udara yang paling buruk berhubungan dengan nilai ujian paling jelek. namun pada hari-hari dengan kualitas udara paling bersih, prestasi belajar para siswa lebih baik.

"Kita bisa melihat penurunan (prestasi) yang jelas pada hari-hari dengan tingkat polusi yang lebih tinggi," ujar Roth. "Bahkan pada beberapa hari sebelum dan beberapa hari sesudahnya, kita tidak menemukan dampak apa pun - benar-benar hanya pada hari ujian, nilai ujian mereka menurun secara signifikan."

Untuk menentukan efek jangka panjangnya, Roth menindaklanjuti hasil penelitian itu dengan melihat seperti apa dampak hal tersebut delapan hingga 10 tahun mendatang.

Mereka yang memiliki prestasi paling buruk di hari paling berpolusi cenderung diterima di universitas berperingkat rendah serta memiliki penghasilan yang lebih sedikit, karena ujian yang diteliti Roth adalah ujian yang sangat berpengaruh terhadap jenjang pendidikan mereka kemudian.

"Bahkan jika itu hanya efek jangka pendek, apabila memang terjadi pada fase penting hidup seseorang, hal itu dapat benar-benar bergerak menjadi efek jangka panjang," ujarnya. Pada tahun 2016, sebuah hasil penelitian lain mendukung temuan awal Roth, di mana polusi dapat mengakibatkan penurunan produktivitas.

Hal itulah yang membawa Roth pada penelitian terbarunya. Pada penelitian tahun 2018, timnya menganalisa data tindak kejahatan selama dua tahun dari lebih dari 600 distrik pemilihan di kota London, dan menemukan bahwa tindak kejahatan kecil lebih banyak terjadi pada hari-hari dengan tingkat polusi udara yang lebih buruk, baik di daerah elit maupun di daerah miskin.

Penting untuk dicatat bahwa temuan tersebut murni berkorelasi - namun Roth punya alasan untuk percaya bahwa terdapat hubungan sebab-akibat dalam fenomena tersebut.

Timnya juga membandingkan beberapa daerah secara spesifik dan memantau tingkat polusi udara dari waktu ke waktu. Awan berpolusi udara, bagaimana pun, dapat bergerak ke arah mana saja angin bertiup.

Awan itu membawa polusi ke berbagai bagian kota yang berbeda secara acak, baik ke daerah elit maupun daerah miskin.

"Kami hanya mengikuti pergerakan awan tersebut setiap hari dan mengamati apa yang terjadi terhadap tindak kejahatan di kawasan di mana awan itu berarak,  kami menemukan bahwa ke mana pun awan itu pergi, tingkat kejahatan meningkat di sana," jelasnya.

Yang penting untuk dicatat, bahkan polusi udara level sedang juga menyebabkan peningkatan tindak kejahatan.

"Kami menemukan bahwa dampak besar terhadap tindak kejahatan ini berada pada tingkat polusi udara yang kondisinya masih jauh di bawah standar peraturan polusi yang ada saat ini."

Dalam kata lain, kondisi udara yang diklasifikasikan Badan Perlindungan Lingkungan AS sebagai tingkatan "baik" nyatanya masih sangat berkorelasi dengan tingkat kejahatan yang lebih tinggi.

Meskipun data milik Roth tidak menunjukkan dampak besar pada bentuk kejahatan yang lebih serius seperti pembunuhan dan pemerkosaan, penelitian lain dari tahun 2018 menunjukkan kemungkinan adanya keterkaitan itu.

Penelitian yang dipimpin oleh Jackson Lu dari MIT memeriksa dokumen yang memuat data selama sembilan tahun dan mencakup hampir seluruh kawasan di AS dengan lebih dari 9.000 kota.

Penelitian itu menemukan bahwa "polusi udara dapat berujung pada enam kategori kejahatan utama", termasuk pembunuhan, pemerkosaan, perampokan, pencurian mobil, dan penyerangan.

Kota-kota dengan tingkat polusi tertinggi juga memiliki tingkat kejahatan tertinggi. Penelitian itu juga bersifat korelasional, namun melibatkan faktor lain seperti populasi, status kepegawaian, usia dan jenis kelamin mereka - dan polusi masih tetap menjadi penanda meningkatnya tindak kejahatan.

Bukti lebih lanjut muncul dari penelitian "perilaku badung" (termasuk mencontek, pembolosan, mencuri, vandalisme dan penggunaan narkoba) terhadap lebih dari 682 remaja.

Diana Younan dari University of Southern California dan rekan-rekannya mengamati secara spesifik PM2.5 - partikel kecil yang 30 kali lebih kecil dari lebar rambut manusia - dan memperhitungkan efek kumulatif dari paparan terhadap polusi-polusi tersebut selama 12 tahun terakhir.

Sekali lagi, terdapat lebih banyak perilaku buruk di kawasan dengan tingkat polusi udara yang lebih banyak.

Untuk memeriksa keterkaitan yang tidak bisa hanya dijelaskan dengan status sosioekonomi itu, tim Younan juga memperhitungkan tingkat pendidikan orang tua, kemiskinan, kualitas lingkungan rumah, dan banyak faktor lainnya, untuk mengisolasi efek dari mikropartikel tadi ketika dibandingkan dengan bentuk pengaruh lainnya yang kita ketahui terhadap tindak kejahatan.

Younan mengatakan bahwa temuannya sangat mengkhawatirkan, khususnya, karena kita tahu bahwa perilaku seseorang saat remaja adalah penanda kuat bagaimana mereka akan bertindak-tanduk saat dewasa. Individu yang badung cenderung berprestasi lebih buruk di sekolah, menjadi pengangguran, dan lebih rentan menyalahgunakan obat-obatan terlarang. Itu berarti bahwa intervensi dari sejak dini perlu diprioritaskan.

Terdapat banyak kemungkinan mekanisme yang dapat menjelaskan bagaimana polusi udara memengaruhi moralitas kita.

Lu, misalnya, telah menunjukkan bahwa sedikit saja pikiran tentang polusi dapat memengaruhi kondisi psikologi kita melalui hal-hal negatif yang terkait dengannya.

Secara alami, para peneliti tidak dapat memaparkan polusi secara fisik kepada para peserta penelitian, sehingga mereka memutuskan untuk mengambil langkah terdekatnya (yang diterima secara etika).

Mereka memperlihatkan sejumlah foto sebuah kota yang sangat berpolusi kepada peserta dari AS dan India, dan meminta mereka membayangkan diri mereka hidup di sana.

"Kami membuat mereka merasakan dampak polusi secara psikologis," jelas Lu. "...lalu meminta mereka untuk benar-benar membayangkan mereka hidup di kota itu, dan bagaimana perasaan mereka, bagaimana kehidupan mereka di tengah lingkungan itu, membuat mereka merasakan secara psikologis seperti apa polusi udara versus lingkungan yang bersih."

Ia menemukan kegelisahan pada diri para peserta, dan mereka menjadi lebih fokus pada diri sendiri - dua bentuk respons yang dapat meningkatkan tingkat agresivitas dan perilaku tidak bertanggung jawab. "Sebagai mekanisme perlindungan diri, kita tahu bahwa ketika kita merasa gelisah, kita lebih mungkin untuk memukul wajah seseorang, dari pada ketika kita merasa tenang " ujar Lu.

"Maka, dengan meningkatkan kegelisahan seseorang, polusi udara dapat berdampak buruk terhadap perilaku."

Pada eksperimen lebih lanjut, tim Lu menunjukkan bahwa di tengah kondisi "berpolusi", para peserta cenderung curang dalam mengerjakan beberapa tugas dan melebih-lebihkan kinerja mereka untuk mendapatkan hadiah.

Penelitian tersebut baru permulaan, mungkin ada banyak alasan lain di balik dampak-dampak tersebut selain akibat meningkatnya kegelisahan dan fokus terhadap diri sendiri seperti yang dijelaskan Lu - termasuk perubahan psikologis pada otak.

Ketika Anda menghirup udara berpolusi, misalnya, hal itu memengaruhi jumlah oksigen yang Anda miliki dalam tubuh pada saat tertentu - dan pada gilirannya, dapat mengakibatkan berkurangnya "udara baik" yang masuk ke otak Anda. Hirupan udara kotor itu juga dapat mengiritasi hidung, tenggorokan, dan menyebabkan sakit kepala - di mana semua itu dapat menurunkan tingkat konsentrasi kita.

Juga jelas bahwa paparan berbagai polutan dapat menyebabkan peradagangan di otak dan dapat merusak struktur otak dan hubungan syaraf. "Jadi yang mungkin terjadi adalah polusi udara ini merusak area lobus prefrontal," ujar Younan. Itu adalah area yang sangat penting untuk mengendalikan impuls (dorongan) kita, fungsi kognitif dan kontrol diri.

Selain meningkatkan tindak kejahatan, polusi udara mungkin juga mengakibatkan penurunan drastis kondisi kesehatan jiwa seseorang.

Penelitian pada Maret 2019 bahkan menunjukkan bahwa remaja yang terpapar racun, polusi udara, lebih rentan terkena gejala psikotik, seperti mendengar suara-suara atau paranoia.

Peneliti utama Joanne Newburry dari King's College London, mengatakan bahwa ia belum bisa mengklaim bahwa hasil penelitiannya bersifat sebab-akibat, namun temuannya itu sejalan dengan penelitian lainnya yang menunjukkan bahwa keterkaitan antara polusi udara dan kesehatan kejiwaan.

"Hal itu menambahkan bukti yang mengaitkan antara polusi udara dengan masalah kesehatan jiwa dan hubungan polusi udara dengan demensia. Jika hal itu buruk bagi tubuh, bisa diperkirakan bahwa hal itu buruk pula bagi otak," ujarnya.

Mereka yang ada di lapangan mengatakan bahwa kini perlu ada kesadaran yang lebih besar akan dampak polusi, bersama dengan efek jangka panjangnya terhadap kesehatan kita. "Kita butuh lebih banyak penelitian yang menunjukkan hasil yang sama di kelompok populasi dan usia lainnya," tutur Younan.

Untungnya, kita bisa mengontrol seberapa banyak polusi yang akan terpapar terhadap diri kita dari hari ke hari. Kita bisa bersikap proaktif dan memantau kualitas udara di sekeliling kita kapan pun.

Monitors (peta terkini kualitas udara) menyoroti hari-hari ketika polusi udara menjadi sangat berbahaya, begitu pula ketika risikonya dalam kondisi terendah.

"Jika berbahaya, saya tidak menyarankan untuk pergi berlari di luar ruangan, atau, lakukan pekerjaanmu di dalam ruangan saja," kata Younan.

Sementara banyak negara tengah menanti peraturan lebih ketat atau campur tangan pemerintah untuk membatasi polusi, sejumlah daerah sudah lebih dulu mengambil langkah positif.

Misalnya California, di mana peraturan yang diterapkan telah berhasil menurunkan tingkat polusi udara, dan menariknya, juga menurunkan tingkat kejahatan. Meski menjanjikan, Younan menekankan bahwa kita belum tahu apakah hal itu suatu kebetulan atau tidak.

Sementara di London, mulai 8 April 2019, akan ada "zona emisi ultra rendah" baru yang menerapkan standar emisi lebih ketat dengan penambahan biaya harian sebesar £12.50 (Rp230 ribu) bagi "jenis kendaraan kebanyakan" selain biaya kamecatan sebesar £11.50 (Rp211 ribu) yang sebelumnya sudah diterapkan.

Lebih banyak bus ramah lingkungan yang dioperasikan sedikit demi sedikit di bawah program "udara yang lebih bersih bagi London".

"Kami telah berupaya keras dalam mengurangi polusi di banyak negara, tetapi ternyata kami harus melakukan lebih dari itu," ujar Roth.

"Tidak selalu harus pemerintah. Tapi juga Anda dan saya- kita. Ketika kita berpikir ingin membeli sesuatu, maka pertimbangkan naik kendaraan apa untuk bepergian, kita akan memberikan dampak tertentu terhadap lingkungan dan kita harus lebih sadar akan itu dan membuat lebih banyak keputusan yang bijaksana akan apa yang kita lakukan."

Roth tetap optimis bahwa peningkatan polusi adalah sesuatu yang ada dalam kendali kita untuk menyelesaikannya, tetapi hingga kita berpartisipasi mengendalikannya, kita harus membuat orang-orang lain juga sadar akan masalah itu.

Jika kita semua mulai memantau tingkat polusi sendiri, kita mungkin bisa membuatnya menjadi sebuah kebiasaan agar bisa menghindari aktivitas tertentu, seperti olahraga di luar ruangan, atau bahkan bepergian pada hari-hari dengan polusi udara yang parah. Tubuh, otak, perilaku dan jiwa kita akan memperoleh manfaat dan merespon lebih positif. 

Kedepan, selain ramalan cuaca, pantauan kondisi pencemaran udara di kawasan perlu diinfokan melalui berbagai media.

Sumber: p2ptm.kemkes.go.id