(0362) 21789
dinkes@bulelengkab.go.id
Dinas Kesehatan

Kenali dan Deteksi Dini Individu dengan Spektrum Autisme Melalui Pendekatan Keluarga untuk Tingkatkan Kualitas Hidupnya

Admin dinkes | 13 April 2016 | 1027 kali

Di dalam masyarakat, terdapat sekelompok anak yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya, yaitu anak-anak dengan kebutuhan khusus yang disebut anak dengan gangguan spektrum Autistik (GSA) atau lebih sering disebut anak autisme.

Pemberian pemahaman kepada masyarakat melalui pendekatan keluarga agar dapat mengenali dan mendeteksi anak dengan GSA sedini mungkin bertujuan agar individu dengan spektrum Autisme dapat memperoleh dukungan dan hak untuk mendapatkan penanganan khusus yang dibutuhkan dengan sebaik-baiknya, sehingga diharapkan mampu meningkatkan kualitas hidupnya dikemudian hari, diterima masyarakat dan diapresiasi oleh lingkungannya.

Demikian pernyataan Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, dr. H. M. Subuh, MPPM, saat membuka lokakarya dalam rangka Hari Autisme Sedunia tahun 2016 dengan tema Kenali dan Deteksi Dini Individu dengan Spektrum Autisme Melalui Pendekatan Keluarga untuk Tingkatkan Kualitas Hidupnya di Kantor Kemenkes RI Jakarta (13/4). Hari Peduli Autisme Sedunia diperingati setiap tanggal 2 April setiap tahunnya.

Keluarga yang memiliki anak dengan spektrum Autisme mengalami berbagai penyesuaian dalam kehidupannya, mulai dari tingginya biaya yang dibutuhkan untuk perawatan dan tidak mudah mendapatkan tempat pendidikan yang sesuai, tutur dr. Subuh.

Individu dengan GSA merupakan salah satu dari lima jenis Gangguan Perkembangan Pervasif atau Pervasive Development Disorder. Tidak mendengar atau memandang mata saat diajak berkomunikasi merupakan tanda pengenal disamping variasi gejala lain, seperti komunikasi yang sulit dimengerti, emosi yang tidak stabil dan perilaku yang tidak biasa.

Tanda-tanda tersebut menyebabkan disabilitas dalam bersosialisasi dan fungsi aktivitas harian, tutur dr. Subuh.

Menurut dr. Subuh, penyandang spektrum Autisme adalah individu yang sangat membutuhkan perhatian, baik dari keluarganya maupun dari lingkungan masyarakat di sekitarnya.

Orang tua yang menghadapi individu dengan spektrum Autisme ini harus sabar, karena mereka membutuhkan waktu yang panjang untuk terapi dan pembinaan, tambah dr. Subuh.

Pada kesempatan tersebut, dr. Subuh menyampaikan pesan kepada masyarakat, jajaran pemerintahan, instansi pendidikan, dan kesehatan serta lembaga swadaya masyarakat yang terkait untuk dapat memberikan dukungan kepada saudara kita, individu dengan autisme sehingga bisa meningkatkan kualitas hidupnya melalui beberapa pendekatan, antara lain:

Penghapusan stigma dan diskriminasi terhadap individu dengan GSA;
Pendataan serta sosialisasi ke fasilitas pelayanan yang tersedia bagi individu dengan GSA, serta memberikan kesempatan baik dalam pelayanan kesehatan, rehabilitasi, maupun fasilitas pendidikan dan pelatihan kerja;
Peningkatan jumlah tenaga ahli dalam penanganan autisme, seperti tenaga terapis bicara, psikiater serta psikolog klinis anak, dan tenaga professional lainnya, baik melalui memperbanyak pelatihan maupun jalur pendidikan formal; dan
Pendekatan kepada keluarga individu dengan GSA, agar bisa meningkatkan pengetahuan mengenai GSA, jenis-jenis penanganan yang dapat dilakukan, serta metoda terbaru pengasuhan autisme, baik dengan banyak membaca, maupun mengikuti seminar dan lokakarya terkait.

Data Centre of Disease Control (CDC) di Amerika pada bulan Maret 2014, prevalensi (angka kejadian) Autisme adalah 1 dari 68 anak. Secara lebih spesifik 1 dari 42 anak laki-laki dan 1 dari 189 anak perempuan.

Ini menunjukkan bahwaspecific prevention and protection dibutuhkan dalam upaya pencegahan dan pengendalian Autisme, tandas dr. Subuh.

Saat ini di Indonesia belum ada data statistik jumlah penyandang Autisme. Namun individu dengan GSA ini diperkirakan sudah semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat dari angka kunjungan di rumah sakit umum, rumah sakit jiwa pada klinik tumbuh kembang anak yang cukup bermakna dari tahun ke tahun.

Yang utama adalah bagaimana kita menghilangkan Stigma. Selain itu, sosialisasi informasi yang benar diperlukan, sehingga jangan sampai ada lagi anak dengan spektrum autistik yang didiskrimasi, tandas dr. Fidiansjah.