Belakangan ini, media memunculkan publikasi lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan yang mengutip data hasil studi para peneliti dari Universitas Harvard dan Universitas Columbia yang mengestimasikan terjadinya 100.300 kasus kematian dini di Indonesia, Malaysia dan Singapura akibat krisis kebakaran hutan Indonesia pada 2015 lalu. Metode penelitian tersebut menggunakan pengamatan dibandingkan dengan hasil obervasi data satelit untuk mengestimasikan paparan asap (smoke exposure) akibat kebakaran hutan dan lahan.
Hal ini ditanggapi oleh Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes RI, drg. Oscar Primadi, MPH, di Kantor Kementerian Kesehatan, rabu sore (21/9).
Angka tersebut merupakan estimasi hasil studi, bukan angka temuan di lapangan. Kemungkinan besar dimaksudkan untuk menerangkan risiko kematian sebelum usia harapan hidup yang dapat terjadi sebagai dampak adanya kebakaran hutan dan lahan, ujar Oscar.
Lebih lanjut disampaikan guna menguatkan hasil penelitian pemodelan, penting diikuti dengan studi kohort untuk pengujian hasil. Untuk itu, hasil penelitian tersebut menjadi masukan berharga bagi pemerintah agar dapat dilakukan penelitian lebih lanjut serta menjadi pertimbangan kebijakan Pemerintah.
Dalam hal ini, semangat dari organisasi masyarakat juga para akademisi kesehatan sejalan dengan upaya Kementerian Kesehatan untuk senantiasa menyehatkan masyarakat, tutur Oscar.
Selain menyosialisasikan kepada masyarakat akan bahaya kabut asap terhadap kesehatan yang dapat muncul akibat dari adanya kebakaran hutan dan lahan (Karhutla), Kementerian Kesehatan telah secara aktif melakukan upaya penguranan risiko akibat Karhutla, diantaranya: 1) Penguatan Manajemen Pengelolaan Krisis/Bencana di daerah; 2) Pelatihan Teknis Penanggulangan Kabut Asap di Palembang yang dihadiri beberapa negara seperti Malaysia, Jerman, Timor Leste; 3) Koordinasi Klaster Kesehatan dalam menghadapi kabut asap; 4) Penyusunan dan distibusi bahan promkes kepada masyarakat dan sekolah (bekerjasama dengan Kemendikbud); 5) Penambahan stok logistik kesehatan di daerah; 6) Asistensi siaga darurat di posko Karhutla provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah; 7) Penyiapan cadangan logistik kesehatan terpusat baik obat-obatan maupun masker.
Berdasarkan pengalaman Karhutla tahun 2015, Pemerintah Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur telah membentuk Satgas Penanggulangan Karhutla Provinsi, dengan melibatkan Dinas Kesehatan, terang Oscar.
Seperti kita ketahui, Karhutla terjadi secara berulang di Indonesia di beberapa provinsi di Indonesia. Karhutla terbesar terjadi pada tahun 2015 dan dinilai sebagai Karhutla terparah sejak tahun 1997, karena mengakibatkan 26 korban jiwa di 8 provinsi dari sejumlah 17 provinsi terdampak. Ketujuh belas provinsi terdampak tersebut, adalah: Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Nangroe Aceh Darusalam, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Papua, dan Papua Barat.
Karhutla yang tidak terkendali menimbulkan kabut asap dalam jumlah yang sangat besar dan membahayakan kesehatan. Tingginya kadar indeks standar pencemaran udara (ISPU) di beberapa wilayah Kalimantan dan Sumatera, dapat menjadi ancaman serius bagi kesehatan. ISPU adalah laporan kualitas udara kepada masyarakat untuk menerangkan seberapa bersih atau tercemarnya kualitas udara kita dan bagaimana dampaknya terhadap kesehatan kita setelah menghirup udara tersebut selama beberapa jam atau hari.
Secara umum kabut asap dapat mengganggu kesehatan seseorang, baik yang dalam kondisi sehat maupun sakit. Gangguan kesehatan yang dapat timbul jika terpapar lama dengan asap, antara lain: 1) Iritasi lokal pada selaput lendir di hidung, mulut dan tenggorokan, serta menyebabkan reaksi alergi, peradangan dan mungkin juga infeksi; 2) Iritasi pada mata dan kulit, menimbulkan keluhan gatal, mata berair, peradangan, dan infeksi yang memberat; 3) memperburuk asma dan penyakit paru kronis lain, seperti bronkitis kronik; 4) Mudah terjadi infeksi misalnya infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) akibat kemampuan paru dan saluran pernapasan mengatasi infeksi berkurang; 5) Gangguan saluran cerna dan penyakit lainnya, jika mengkonsumsi makanan dan air yang terkontaminasi polutan asap; 6) Berbagai penyakit kronik di berbagai organ tubuh seperti jantung, hati, ginjal, dan lain-lain dapat memburuk. Ini terjadi karena dampak langsung maupun dampak tidak langsung yang mana kabut asap menurunkan daya tahan tubuh atau menimbulkan stres.
Sebagai informasi, angka ISPU antara 0-50 dan 51-100 dikategorikan baik dan sedang, masing-masing tidak berdampak pada kesehatan. Angka ISPU 101-199 dikategorikan tidak sehat, karena dapat menimbulkan gejala iritasi pada saluan pernafasan. ISPU antara 200-299 dikategorikan sangat tidak sehat, karena pada penderita gangguan pernafasan, pneumonia dan jantung maka gejalanya akan meningkat. Angka ISPU antara 300-399 termasuk kategori berbahaya. Biasanya orang yang sehat akan merasa mudah lelah dan bagi penderita suatu penyakit, gejalanya bisa menjadi lebih serius. Sedangkan angka ISPU > 400 dikategorikan sangat berbahaya bagi semua orang yang ada di wilayah tersebut.
Masih banyak yang belum mengerti manfaat menggunakan masker, terutama saat beraktifitas di luar rumah. Meskipun level ISPU masih berada di level sedang, banyak penduduk yang enggan memakai masker saat beraktifitas di luar ruangan, tambah Oscar.
Tingkat keparahan dampak kebakaran hutan dan lahan dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah luas hutan dan lahan yang terbakar, durasi kebakaran hutan dan lahan, jenis lahan yang terbakar, lamanya musim kemarau dan upaya penanggulangan yang dilakukan. Proses pemadaman kebakaran hutan dan lahan sangat terbantu dengan datangnya musim hujan. Namun, pada tahun 2015, musim penghujan tertunda datangnya karena adanya fenomena El Nino. Di Indonesia, El Nino menunda datangnya musim penghujan yang menyebabkan kemarau panjang di tahun 2015.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI.