Rokok elektrik atau yang akrab disebut dengan vape, kini digadang-gadang sebagai alternatif yang lebih aman dari rokok konvensional. Beberapa negara telah mengadopsi produk tembakau alternatif sebagai solusi untuk berhenti merokok. Sayangnya, klaim bahwa rokok elektrik aman justru ditepis oleh sejumlah dokter spesialis dalam konferensi pers bersama Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI).
“Pada kesempatan ini, para dokter dari ahli kesehatan serta lembaga masyarakat mencegah eksploitasi industri rokok dalam produk yang berbeda dengan isi yang sama. Menjadi alternatif, rokok elektronik justru menimbulkan penyakit komplikasi,” kata Ketua Umum PB IDI, Dr. Daeng M Faqih, SH MH saat membuka diskusi publik yang diselenggarakan Komnas Pengendalian Tembakau bertemakan “Rokok Elektrik, Ancaman atau Solusi” di Kantor PB IDI, Jakarta, Selasa (14/5/2019).
Meski dinyatakan produk less harmful, bukan berarti rokok elektrik 100 persen bebas dari risiko. Dalam diskusi tersebut, para pakar mengemukakan bahwa rokok elektronik justru dapat menimbulkan beberapa komplikasi seperti penyakit kardiovaskular, paru-paru, tuberkulosis, kanker, dan lainnya.
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia Dr Sally Aman Nasution mengatakan rokok elektrik memiliki substansi yang bersifat karsinogenesis, sehingga memiliki risiko perubahan sel dan mencetuskan timbulnya beberapa kanker tertentu, seperti kanker paru, mulut dan tenggorokan, gangguan di bidang pencernaan, sistem imun, dan timbulnya trombosis.
Sementara itu, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Dr Agus Dwi Susanto mengungkapkan, berbagai penelitian menunjukkan dampak rokok elektrik pada sistem paru dan pernapasan, seperti peningkatan peradangan atau inflamasi, kerusakan epitel, kerusakan sel, menurunkan sistem imunitas lokal paru dan saluran napas. Rokok elektrik juga meningkatkan hipersensitif saluran napas, risiko asma dan emfisema, dan risiko kanker paru.
“Beberapa penelitian di populasi juga menunjukkan bahwa rokok elektrik menyebabkan iritasi saluran napas, meningkatkan gejala pernapasan, risiko bronkitis, asma serta risiko penyakit bronkiolitis obliterans dan infeksi paru,” kata Agus.
Terkait penggunaan produk alternatif sebagai solusi untuk berhenti merokok, Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) menolak teori tersebut. Pasalnya, di beberapa negara menunjukkan para perokok justru terjerat rokok elektrik dan rokok konvensional sebagai pengguna ganda (dual users).
“Kita perlu hati-hati dalam mengambil sikap terkait rokok elektronik. Di samping itu, belum adanya cukup bukti ilmiah bahwa rokok elektronik itu aman sebagai alat untuk berhenti merokok,” sebut dr. Widyastuti Soerojo selaku perwakilan dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat (IAKMI).
Di Polandia, misalnya, dari 30 persen remaja 15-19 tahun yang mengonsumsi rokok elektrik tahun 2013-2014 ternyata sebanyak 72,4 persen di antaranya adalah pengguna ganda. Di Indonesia, studi UHAMKA pada remaja SMA di Jakarta tahun 2018 menemukan, dari 11,8 persen remaja pengguna rokok elektrik, sebanyak 51 persen di antaranya pengguna ganda.
Hal senada juga diungkapkan oleh perwakilan Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI), Dr. dr. Erlina Burhan, msc, SpP(K). Menurutnya, terdapat 7×1.011 zat radikal per-hirup rokok elektrik yang akan meningkatkan stres oksidatif dan memiliki efek pengubah status imun yang mirip dengan rokok reguler.
“Kandungan zat berbahaya dalam rokok elektronik adalah nikotin dan ICAM-4 yang dapat meningkatkan penempelan bakteri tuberkulosis. Kondisi tersebut membuat perokok berisiko dua kali lipat untuk terinfeksi dan meninggal karena TBC dibandingkan bukan perokok,” imbuhnya.
Sementara itu, meski tidak seperti rokok konvensional yang dibakar dan menghasilkan sisa pembakaran tar, rokok elektrik bukan berarti lebih aman untuk kesehatan mulut dan gigi juga harus dipertanyakan. “Rokok elektrik ternyata tetap berpengaruh negatif pada sel mukosa mulut dan tidak terbukti bahwa rokok elektrik merupakan cara yg tepat untuk menghentikan kebiasaan merokok konvensional,” kata drg. Didi Nugroho Santosa dari Persatuan Dokter Gigi Indonesia.
Sebelumnya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam konferensi WHO Framework Convention On Tobacco Control tahun 2014 lalu menyimpulkan bahwa tidak ada cukup bukti yang menyatakan rokok elektrik dapat membantu seseorang untuk berhenti merokok. Di Indonesia, hasil monitoring Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tahun 2018 lalu menemukan banyak anak-anak sekolah dasar mengonsumsi vape di sekolah.(sumber : Idionline)