Japanese Encephalitis (JE) adalah penyakit radang otak (Ensefalitis) yang disebabkan oleh virus JE. Manusia dapat terinfeksi virus JE karena ini merupakan penyakit bersumber binatang (zoonosis) yang ditularkan melalui vektor penyebar virus JE yaitu nyamuk Culex yang terinfeksi virus JE. Jenis nyamuk ini merupakan yang biasa ditemukan di sekitar rumah antara lain area persawahan, kolam atau selokan (daerah yang selalu digenangi air). Sedangkan reservoarnya adalah babi, kuda dan beberapa spesies burung.
Nyamuk Culex sifatnya antrosoofilik yang tidak hanya menghisap darah binatang tapi juga darah manusia, karena itulah melalui gigitan nyamuk dapat terjadi penularan JE dari hewan kepada manusia. Namun, manusia merupakan dead-end host untuk JE, artinya manusia tidak menjadi sumber penyebaran virus JE.
JE di Indonesia
Virus JE merupakan penyebab utama kejadian penyakit ensefalitis virus di Asia. WHO (2012) menggambarkan bahwa negara-negara berisiko JE ditemukan hampir di seluruh wilayah Asia antara lain Jepang, Korea, India, Srilanka, dan Indonesia serta sebagian northern territory di Australia. Seperti di negara-negara lain, di Indonesia jumlah kasus JE didapatkan melalui surveilans Acute Encephalitis Syndrome (AES). Seperti kita ketahui bahwa tanda klinis dari JE tidak dapat dibedakan dengan penyebab lain dari AES, sehingga konfirmasi laboratorium menjadi sangat penting. Kasus JE adalah kasus AES yang telah dikonfirmasi positif dengan pemeriksaan laboratorium (IgM) positif.
Di Indonesia, pantauan infeksi JE pada kelompok masyarakat di berbagai wilayah dimulai dari penelitian yang dilakukan berbagai kelompok dan institusi sejak tahun 1972. Dilanjutkan dengan surveilans berbasis masyarakat di Bali oleh Kemenkes (2001-2003). Tahun 2014 Kemenkes bekerja sama dengan WHO mengembangkan surveilans sentinel JE di Bali dan empat provinsi berisiko lainnya. Tahun 2016, surveilans sentinel JE dikembangkan sehingga menjadi 11 provinsi. Data surveilans kasus JE di Indonesia tahun 2016 menunjukkan bahwa terdapat sembilan provinsi yang melaporkan adanya kasus JE, diantaranya adalah Provinsi Bali, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, dan Kepulauan Riau.
Hasil surveilans sentinel 2016 di 11 provinsi menunjukkan bahwa terdapat 326 kasus AES dengan 43 kasus (13%) diantaranya positif JE. Sebanyak 85% kasus JE di Indonesia terdapat pada kelompok usia 15 tahun dan 15% pada kelompok usia >15 tahun. Kasus JE terbanyak terdapat di provinsi Bali.
Gambaran Klinis JE
Tanda dan gejala Ensefalitis biasanya muncul antara 4-14 hari setelah gigitan nyamuk (masa inkubasi) dengan gejala utama berupa demam tinggi yang mendadak, perubahan status mental, gejala gastrointestinal, sakit kepala, disertai perubahan gradual gangguan bicara, berjalan, adanya gerakan involuntir ekstremitas ataupun disfungsi motorik lainnya. Pada anak, gejala awal biasanya berupa demam, iritabilitas, muntah, diare, dan kejang. Kejadian kejang terjadi pada 75% kasus anak. Sedangkan pada penderita dewasa, keluhan yang paling sering muncul adalah sakit kepala dan gejala peningkatan tekanan intrakranial.
JE bisa menyebabkan kematian, angka kematian akibat JE berkisar antara 5 30%. Angka kematian ini lebih tinggi pada anak, terutama anak berusia kurang dari 10 tahun. Bilapun bertahan hidup, bisanya penderita seringkali mengalami gejala sisa (sekuele), antara lain gangguan sistem motorik (motorik halus, kelumpuhan, gerakan abnormal); gangguan perilaku (agresif, emosi tak terkontrol, gangguan perhatian, depresi); atau gangguan intelektual (retardasi); atau gangguan fungsi neurologi lain (gangguan ingatan/memori, epilepsi, kebutaan).
Sampai saat ini belum ada obat khusus untuk menyembuhkan penyakit ini, hanya dapat mengurangi gejala (mencegah perburukan kasus). Oleh karena itu, upaya pencegahan sangat penting. JE dapat dicegah dengan pemberian imunisasi dan menghindari gigitan nyamuk (vektor penular JE).
Faktor Risiko dan Pencegahan
Peningkatan penularan penyakit ini ditengarai disebabkan beberapa faktor risiko, antara lain: 1) Peningkatan populasi nyamuk pada musim hujan; 2) Tidak adanya antibodi spesifik JE baik yang didapat secara alamiah maupun melalui imunisasi; 3) Tinggal di daerah endemik JE; serta 4) Perilaku yang dapat meningkatkan kemungkinan digigit oleh nyamuk misalnya tidur tanpa menggunakan kelambu.
Adapun intervensi yang paling utama dalam pencegahan dan pengendalian JE adalah pengendalian vektor baik secara kimiawi maupun non kimiawi, menjaga kebersihan lingkungan permukiman dan peternakan bebas dari habitat perkembangbiakan nyamuk penular JE, penguatan surveilans, dan imunisasi JE pada manusia di samping vaksinasi hewan (babi, kuda dan unggas). Imunisasi merupakan cara yang paling efektif untuk mencegah JE pada manusia.